Identif.di, Gorontalo – Indonesia mempunyai cukup banyak pasokan batok kepala generasi mudanya yang tumpul dalam berpolitik berdasarkan timeline media sosial dan topik diskusi tentang negara ala-ala warkop serta melihat politik hanya melalui subjektivitas, dan tidak menggunakan akal sehat berdasarkan dampak negatif yang ditimbulkan indoktrinasi politik bagi anak muda.
Generasi muda Indonesia tidak seharusnya terjebak pada arus kepemimpinan dan proses politik pragmatis yang dicerminkan oleh mereka yang berkuasa, Karena kebanyakan pemuda melihat kesuksesan orang hanya dari karir politiknya.
Para pemilih muda dalam derasnya arus politik saat ini seharusnya mampu mereduksi ancaman politik propaganda yang dapat mengganggu pergaulannya, bukan ikut melibatkan diri dalam menjalankan prosesi politik pragmatis yang berujung pada terjadinya disintegrasi kaum muda.
Kenapa banyak anak muda yang gampang terjerumus di dunia politik? Ada yang berpendapat bahwa itu adalah indoktrinasi dari para pendahulu mereka yang merupakan generasi apolitis bentukan Orde Baru. Ada juga yang menilai itu karena politik menjanjikan kekuasaan dan finansial, sehingga banyak anak muda yang berlomba-lomba mencari batu loncatan untuk mendapatkannya. Dua alasan tersebut menjadikan generasi muda agnostik secara politik. Mereka kehilangan moralitas, kehilangan nilai, tidak memiliki pegangan, idealisme, yang menjadi panduan dalam berpolitik.
Alasan tersebut mengabaikan kondisi-kondisi struktural yang membentuk moralitas politik pragmatis itu. Kondisi-kondisi struktural itu adalah minimnya lapangan pekerjaan, tingginya kesenjangan sosial, pendidikan tidak merata, akses kesehatan susah, dan sistem politik yang berlandaskan pada dukungan massa dan uang karena semakin kompetitif.
Pada Pemilu 2019 silam, saya memperhatikan bahwa kebanyakan pemuda memang identik dengan gairah, semangat demokrasi dan keterbukaan, hal-hal yang otentik. Pemuda tak menyukai segala sesuatu yang loyo dan muluk-muluk, pemuda memang amat menyukai realita.
Menurut Taufik Abdullah (1974), pemuda adalah generasi baru dalam sebuah komunitas masyarakat untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, salah satu jurus Parpol untuk meraih dukungan pemuda dalam Pilpres dan Pileg maupun Pilkada adalah dengan menawarkan keterbukaan, perubahan, dan program yang tidak muluk-muluk serta realistis.
Dalam setiap acara kampanye yang dihadiri oleh anak muda, saya melihat bahwa gairah pemuda seperti terbakar dan makin bergelora. Dalam setiap kampanye, ketergantungan Parpol terhadap kalangan pemuda begitu tinggi, karena sebagian besar dari massa yang hadir memang para pemuda. Dengan demikian, keikutsertaan pemuda dimanfaatkan dan tidak disia-siakan oleh Parpol, apalagi jika ditanamkan perasaan sentimen atau prasangka yang buruk terhadap Parpol lain, dan itu dapat berpotensi menimbulkan perpecahan sesama pemuda.
Seharusnya kampanye politik harus dijadikan ajang untuk mendidik dan memberikan pengalaman politik sehat bagi para pemuda sesuai amanat demokrasi serta harapan yang baik bagi masyarakat. Bukan untuk memecah belah kekompakan dan mendikte pemuda dengan doktrin politik sentimental dan harapan palsu tentang angan-angan struktural.
Selayaknya di antara Parpol, terjadi kerjasama dan kekompakan, terutama untuk menggelar pesta demokrasi yang bersih di Indonesia ini, termasuk menumbuhkembangkan kesadaran berbangsa dan bernegara bagi kalangan pemuda tanpa harus mendikte pola pikir pemuda dengan indoktrinasi politik yang tidak baik. Sehingga peran pemuda dalam pemilu hanya ikut-ikutan saja tanpa adanya nilai demokrasi yang seharusnya pemuda dapatkan.
Teruntuk para politisi senior, jangan memanfaatkan semangat pemuda untuk kepentingan politik kalian, berikanlah contoh terbaik bagi para pemuda, jangan hancurkan moralitas pemuda dengan proses dan dogma berpolitik yang tidak baik.
Beberapa tahun yang lalu, tepat empat hari setelah masuk tahun 2019, saya sempatkan berkunjung dan berdiskusi ke rumah teman saya di salah-satu desa pelosok yang ada di Kabupaten Bolaang Mongondow, dalam diskusi itu salah seorang tokoh pemuda kampung tersebut mengatakan bahwasanya keadaan pemilu saat ini “kita serahkan saja sepenuhnya sama tuhan, biarlah tuhan menentukan jalannya pemilu ini, tapi saya memilih nomor 2, karena terbukti bagus dan kerjanya nyata”, saya paham dengan jawaban ini karena mungkin saja dia mempertimbangkan sistem yang mengikat pada dirinya, karena mengingat dia adalah ketua karang taruna di desa itu.
Miris dan geli saya mendengar ucapan itu, kenapa? saking tidak mampunya kaum muda memprediksi peradaban politik yang berdaulat serta baik bagi dirinya, saking tidak adanya wawasan politik dan demokrasi yang cukup, maka semua itu diserahkan kepada Tuhan? Ini pernyataan yang sangat pesimis sebagai alibi ketidakmampuan generasi muda. Kalau sudah seperti ini, maka lunturlah konsep diri pemuda sebagai kaum generasi penerus.
Bagi saya, politik itu seperti penyakit kronis yang menular, sehingga mampu menggerogoti idealisme serta cita-cita pemuda yang mungkin saja berkeinginan untuk menjadi seniman, pengusaha, Guru dan lainya, maka dari itu penyakit ini harus segera kita cegah sebelum menjangkit. Mari kita cegah ini dengan pengetahuan dan wawasan yang luas tentang politik dan demokrasi.
Penulis : Wardoyo Dingkol