Identif.id, Gorontalo – Adalah Raden Ajeng Kartini, seorang empu di tanah Jawa. Semangat dan revolusi kebudayaannya, kini telah menjadi simbol kebanggaan perempuan Indonesia. Dirinya menempati posisi terdepan dalam menampilkan sebuah gerakan emansipasi. Dipandang istimewa, Kartini berhasil menetralisir adat-istiadat dalam sangkar budaya ningrat Jawa dimasanya.
Memang perkara perempuan, bukanlah kenyataan yang harus dianggap sepeleh. Catatan manuskrip kebudayaan masa lalu, di belahan dunia mana pun, perempuan menjadi objek yang memilukan. Perempuan seolah-seolah berada pada kasta yang rendah, keberadaanya hanyalah objek yang diperlakukan semena-mena oleh kaum yang bernama laki-laki.
Di era sebelum masehi misalnya, bait-bait perang Yunani dan Troya, banyak mengisahkan perempuan hanyalah objek kepuasan hasrat lelaki. Kendati istri seorang raja pun, menjadi taruhan kehormatan perang. Di belahan Gurun Sahara, Timur-Tengah, Dunia Arab dan sekelilingnya, dibubuhi pula oleh struktur sosial yang sama. Bahwa, selain harta, wanita ialah momok sosial yang membawa malapetaka.
Syafii Maarif (2009) mengisahkan, “…di banyak tempat, perempuan tidak hanya teralienasi dari sejarah panggung kemanusiaan. Tetapi, malahan menjadi korban struktur peradaban yang patriarkis”. Kita bisa perkirakan, kisah perempuan adalah struktur sosial yang mengalami peminggiran dalam sejarah kemanusiaan. Marginalisasi, diskriminasi, kekerasan, turut merangkap di seluruh penjuru kebudayaan dunia.
Tak terkecuali pergerakan kebangsaan Indonesia, satu kenyataan yang tak bisa diabaikan, dari realitas keterpinggiran derajat perempuan di ruang publik. Kemunculan gerakan-gerakan perempuan di Indonesia, selayaknya menyatakan posisi perempuan dari dominasi keterpinggiran sejarah, yang memberangus eksistensinya.
Mereka senantiasa tumbuh dan berkembang menembus batas tradisi. Meluruhkan ideologi dan sistem sosial patriarkis, yang sebelumnya telah mengakar ditengah lingkaran feodalistik. Seperti RA. Kartini misalnya, dirinya sangat prihatin atas kondisi perempuan-perempuan jawa pada umumnya, seolah-olah tidak diperkenalkan untuk mendapat akses pengetahuan keilmuan yang luas. Perempuan Jawa, hanya diperkenankan sebatas wawasan kerumah-tanggaan.
Sebagaimana kita tahu, Kartini bukanlah seorang diri yang tergolong sebagai tokoh pergerakan perempuan Indonesia. Setidaknya, Kartini bagi khalayak, menjadi ukiran awal literatur yang kita temui, untuk mendiagnosa gerakan emansipasi perempuan Indonesia. Kemungkinan itu semua, hadir dari presetase Kartini yang mendambakan kaum perempuan Indonesia, agar terbebas dari kekolotan tradisi, kebodohan dan keterbelakangan.
Namun sayang, mindset Jawa sentris masih menjadi problem serius untuk kesejarahan Indonesia. Saya pun akui, bukanlah ahli sejarawan, yang berhak memverifikasi perkara keakuratan peristiwa. Sebagai interpretasi, kita bisa menduga pemahaman gerakan emansipasi perempuan, memiliki kemungkinan ke arah Jawasentris.
Kita juga, tak bermaksud menafikan ketokohan Kartini sebagai pelopor gerakan emansipasi. Namun sungguh, kita juga tak seharusnya, mengabaikan keunggulan dan kearifan di tingkat lokal. Gorontalo misalnya, tidak kalah pentingnya menuai aksentuasinya dalam memupuk gerakan-gerakan feminis di tingkat lokal. Bahkan momentumnya, mendahului titik perkiraan gerakan emansipasi yang selama ini disajikan khalayak Indonesia. Itulah mengapa, bagi saya. Emansipasi, bukanlah ‘perkara’ untuk perempuan Gorontalo. Perempuan Gorontalo berhasil menampilkan cetak biru kebudayaan gerakan perempuan.
Deras dan laju perubahan kekuasaan, lebih dipengaruhi oleh figur-figur pemimpin perempuan. Mereka turut memainkan sirkulasi percaturan kekuasaan dan ruang publik. Sedemikian khasnya, mereka mampu bertahan melalui proses sosial, budaya dan politik. Hingga membuat mereka bisa berkiprah dalam peta kekuasaan di Gorontalo.

Dalam beberapa catatan penulis lokal Gorontalo, seperti Basri Amin (2016), memperkenalkan sebuah rekonstruksi sejarah kepemimpinan perempuan Gorontalo, terhadap dinamika dan tradisi kekuasaan di masa lalu. Menggerakkan Roda Zaman, itulah tajuk yang tepat bagi perempuan Gorontalo. Ia mengisahkan, sejak mula perempuan Gorontalo, tampil dan mengambil peranan penting sejak paruh abad ke-15.
Sedari awal, kepemimpinan perempuan Gorontalo telah teruji dalam ruas politik kekuasaan kerajaan. Sebagaimana kita tahu, kerajaan Gorontalo dibentuk atas sebuah konfederasi kerajaan, yang terdiri dari 17 komunitas kecil (linula). Masing-masing kelompok ini, dipimpin oleh seorang olongia, yang sebagian dari mereka adalah seorang Ratu.
Kepemimpinan amat termasyur di masa ini, ialah olongia Ratu Yilahudu. Seorang perempuan yang ahli di bidang strategi dan penuh kharismatik, ia berhasil mengorganisir beberapa kerajaan-kerajaan kecil (linula) di sekitar Gorontalo. Dalam kurun waktu permulaan kerajaan, berjejer kepemimpinan yang malah dipelopori oleh seorang perempuan. Seperti Putri Bulaida (1360-1385), seorang pimpinan kerajaan Gorontalo untuk pertama kalinya.
Di Limboto sendiri kita kenal pula, sosok kebesaran dari Ratu Mbui Bungale dan Ratu Tolanghula sebagai ratu pemersatu Limboto (1330). Mbui Bungale pembesar kerajaan, telah meletakan sendi-sendi tata-negara kerajaan. Ia pun kesohor sebagai seorang pemimpin diplomatik, dan berhasil menciptakan kohesi sosial di lintas limo poholaa –lima ikatan persaudaraan kerajaan; Gorontalo, Limboto, Suwawa, Bolango dan Atinggola. Untuk Ratu Tolanghula, ia pun hendak membangun unifikasi kerajaan, antara Limboto dan Suwawa kedalam konfedarsi U Duwulo Mulo (Sarekat yang pertama).
Peristiwa penting berkenaan dengan kedudukan kerajaan Gorontalo, kian terjadi di abad 16. Momentum perubahannya, nampak terjalin erat dengan proses transformasi agama. Dimana Islam, menjadi kerangka etik pembangunan kerajaan. Tak kalah pentingnya, proses saluran Islamisasi di tanah Gorontalo, justru di lakoni oleh sosok perempuan. Dialah Putri Owutango, figur yang berhasil mentransformasikan nilai-nilai ajaran Islam kedalam kehidupan kerajaan. Perkawinannya bersama raja Amay, membawa dampak perubahan besar terhadap cerminan kultural kerajaan.
Selain beberapa dari mereka, figur kenamaan yang mengilhami gerakan emansipasi ialah Putri Rawe. Meski hanya seorang permaisuri kerajaan, kedudukan dari sang Putri ini, menempati posisi sentral dalam memorie kolektif masyarakat Gorontalo. Sekira di abadnya, ia menyiratkan kewibawaan negara dalam struktur kerajaan.
Perjalanan perempuan Gorontalo terus menggelembung diatas aras gerakan perempuan, hingga abad modern. Abad 20 sebagai permulaan mencari indentitas bagi sebuah bangsa. Menggalang kekuatan, menggapai cita-cita kemerdekan, merupakan pertarungan sengit melawan kebengisan hegemoni Kolonial. Sebagai wujud kesamaan nasib, dan kesadaran nasionalisme, perempuan-perempuan Gorontalo turut andil terlibat menghimpun diri, kedalam beberapa organisasi keperempuanan. Mereka tak kalah saingnya, menyamai saudari-saudari seperjuangan mereka, yang berada di pulau Jawa, Sumatra, dll.
Sebagai langkah aspiratif perempuan pribumi, konsolidasi gerakan keperempuanan muncul kepermukaan. Disana serangkaian organisasi-organisasi, yang bergerak di bidang sosial, maupun di bidang politik, guna meraih cita kemerdekaan. Organisasi perempuan, De Gorontalosche Mohammedansche Vrauwen Vereniging (1920), adalah yang pertama menghimpun perempuan-perempuan Gorontalo. Selain itu juga, di tahun yang sama 1928, beriringan menyusul Wanita Islam Gorontalo dan Putri Setia.
Sungguh tak menyangka, kepiawian mereka, mampu mengisi panggung pergerakan perempuan. Tokoh-tokoh fundeng mother, seperti Ina Datau, Ruida Intan Uno-Monoarfa, Aisa Wartabone, dan Saripa Hala, mereka sangat gigih mempelopori Gerakan Kebangsaan Wanita (GERKIWAN). Tak terabaikan juga, kurun waktu yang sama, kehadiran organisasi Ibu Setia, memainkan peranan yang cukup signifikan bagi pertumbuhan gerakan perempuan Gorontalo.
Artukulasi pemikiran dan gerakan aliansi kebangsaan, tidak hanya terlintas dalam menghimpun diri di berbagai organisasi. Perempuan Gorontalo, tidak tertinggal pula dari wacana dan diskursus intelektual. Daya saing literasi tengah menuntun mereka dalam mengiringi bentuk pergerakan. Tahun 1941, adalah kilasan waktu yang bermakna, bagi catatan kritis perempuan Gorontalo. Di tahun ini, Putri Sedar, sosok yang menyita perhatian kalangan Gorontalo, pikiran-pikiran cemerlangnya menjadi buah bibir wacana pergerakan perempuan. Adalah media cetak soeruan, pikiran-pikiran mereka menumpuk di sana. Taman Kepoetrian-lah, komunitas yang menjadi saksi sejarah, sekaligus memberi akses penghubung buah pikiran perempuan Gorontalo, tersalurkan di kalangan masyarakat pribumi.
Kebesaran perempuan Gorontalo, berhasil merekayasa tatanan kebudayaan masyarakat. Emansipasi, bukanlah perkara untuk perempuan Gorontalo. Mereka telah mengenal berabad-abad lamanya, kelenturan dan jaminan harkat dan martabat seorang perempuan, adalah kehormatan bangsa yang tak ada taranya. Sedari awal, sejarah dan memorie kolektif masyarakat Gorontalo, kekuasaan dan kepemimpinan, bukan menjadi alasan perempuan terpinggirkan dari ruang publik. Itulah kemudian, setidaknya, perempuan Gorontalo menegasikan kepada khalayak semua bahwa, emansipasi tidak harus terdefinisi dalam lokalitas setempat. Sangat disayangkan, bila titik nadi emansipasi hanya terjerembab kedalam lamunan sejarah yang amat dikotomis.
Satu kalimat, untuk mengakhiri tulisan ini, “perempuan Gorontalo, bukan sekedar penikmat perasaan, melainkan penikmat perubahan”
Abd. Firman Bunta, peminat kajian sosial-budaya dan kewarganegaraan.