Tumbilotohe atau malam pasang lampu di Tanggi Daa selalu menjadi perhatian masyarakat ketika malam ke 27 bulan suci Ramdhan hingga malam hari raya Iedul Fitri .
Tanggi Daa Tempo Dulu (Tanggi Daa Mulolo) memang menyimpan sejarah dalam Tumbilotohe karena sejak dulu masyarakat yang tinggal di Tanggi Daa memiliki berbagai kreasi dan inovasi dalam pemasangan lampu baik dari sisi mempertahankan simbol-simbol adat maupun kreasi penampilan lampu yang dipasang.
Dalam mempertahankan simbol-simbol adat, disepanjang jalan Tanggi Daa di depan masjid maupun perempatan jalan selalu di pasang Alikusu (Gapura Adat) yang melambangkan betapa masyarakat Gorontalo sangat menghayati dan menghormati dalam menyambut datangnya malam kemuliaan (Lailatul Qadri) . Alikusu dibuat dari bambu kuning berbentuk kubah yang melambangkan Hablul Minallah yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya.
Atribut yang diisi di Alikusi adalah Tohe Butulu yang berjumlah sebanyak 5 lampu botol yang diletakkan di palang atas Alikusu yang menggambarkan kewajiban sholat 5 waktu sesuai dengan rukun Islam. Cahaya lampunya diibaratkan cahaya Alquran yaitu cahaya penerang kehidupan dunia dan akhirat, Lale (janur kuning) melambangkan kesucian dan kemuliaan karena warna kuning tersebut diibaratkan logam mas yang mengkilap, Polohungo (bunga yang warna warni) yang diikat menjadi satu melambangkan kehidupan pribadi, maupun masyarakat pasti terdapat perbedaan namun dapat dipersatukan dalam pengamalan agama Allah SWT, Tabongo atau bunga lahikit memiliki makna sebagai penolak balak dari pengaruh-pengaruh yang jahat, Patodu (tebu) perlambang rezeki dan manusia diharapkan ramah, bersikap manis antar sesama, Lambi (pisang) melambangkan manusia harus bermanfaat bagi orang lain, Tohe Tutu (lampu damar) menggambarkan keaslian budaya suku Gorontalo, Tonggoloopo menggambarkan cahaya alquran yang akan menerangi kehidupan setiap pribadi manusia, Padamala (lampu minyak kelapa) perlambang lampu yang akan menerangi di akhirat.
Selain itu, Alikusu dilengkapi dengan dupa dan harum-haruman yang melambangkan kesucian. Dalam Alquran surah Alqadr disebutkan Tanazzalul Malaikatu Warruhu Fiiha Biizni Rabbihim Min Kulli Amrin Salaamun Hiya Hatta Matla Ilfajri yang berarti dalam bulan suci Ramadhan terdapat suatu malam kemuliaan yang lebih baik dari 1000 bulan (Lailatul Qadri). Pada malam itu malaikat dan ruh turun ke dunia memberikan keselamtan kepada manusia hingga terbit fajar.
Dalam menyambut turunnya malaikat dan ruh pada malam kemuliaan tersebut, orang-orang tua kita dulu menyambutnya dengan memasang lampu yang terang benderang dan wangi-wangian, karena sesungguhnya malaikat dan ruh sangat senang dengan terang benderang dan wangi-wangian. Dengan demikian Tumbilotohe sangat sakral bagi yang meyakininya terutama bagi warga Nahdliyin dan nampak di masyarakat antara yang mau pasang atau tidak pada waktu itu.
Pemasangan lampu pada malam pertama biasanya mengundang Imam Mesjid atau Ustadz. Di Tanggi Daa Mulolo biasanya pemasangan lampu Tumbilotohe bernuansa kultural dan Surah Alqadri juga dilengkapi dengan ornament yang menarik seperti ada yang membuatnya dari ornamnen pesawat terbang yang dihiasi lampu-lampu, Ornamen Ikan dihiasi lampu hingga perahu yang berada di sungai Tanggi Daa (waktu itu air Sungai Tanggi Daa masih banyak).
Pada Perkembangannya, ketika Walikota almarhum Yusuf Dalie mulai memperlombakan, Tumbilotohe Tanggi Daa selalu tampil yang terbaik. Semenjak di perlombakan makna Tumbilotohe secara kultural dan Surah Alqadri mulai berkurang.
Dalam prosesnya, kini Tumbilotohe menjadi ajang wisata dan kurang menampilkan makna yang sesungguhnya. Seperti halnya Di Tanggi Daa, yang dalam beberapa tahun terakhir aktifitas pemasangan Tumbilotohe juga sudah berkurang. Namun kini dibangkitkan lagi yang diberi label Tumbilotohe Tanggi Daa Mulolo dipelopori oleh ibu Memi Soraya pengusaha asal Tanggi Daa Gorontalo yang telah sukses melakukan investasi budidaya udang vaname di Lampung.
Tumbilotohe Tanggi Daa Mulolo menjadi salah satu tempat Tumbilotohe yang banyak dikunjungi masyarakat lokal maupun yang datang dari luar daerah. Sayangnya Tumbilotohe Tanggi Daa Mulolo saat ini kurang menggambarkan makna Tumbilotohe yang sakral bernuansa adat dan Surah Al Qadr.
Makna yang terkandung dalam pemasangan lampu oleh masyarakat Gorontalo sebagai wujud penyambutan turunnya malaikat dan ruh pada malam kemuliaan 1000 bulan yang akan memberikan keselamtan kepada manusia hingga terbitnya fajar (Tanazzalul Malaikati Warruh Fiiha Biizni Rabbihim Min Kulli Amri).
Untuk diketahui tradisi Tumbilotohe atau malam pasang lampu sudah berlangsung cukup lama di Gorontalo, dari beberapa literatur yang penulis baca melalui publikasi di media massa smenjadiudah berlangsung sekitar 500 tahun yang lalu semenjak masuknya Agama Islam di Gorontalo.
Penulis : Fahrudin Zain Olilingo